Subscribe:

Rabu, 21 Maret 2012

ETIKA PROFESI(Dokter)

Dalam era global yang terjadi waktu ini, profesi kedokteran merupakan salah satu profesi yang mendapatkan sorotan masyarakat. Masyarakat banyak yang menyoroti profesi dokter, baik sorotan yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai induk organisasi para dokter, maupun yang disiarkan melalui media cetak maupun media elektronik. Ikatan Dokter Indonesia menganggap sorotan-sorotan tersebut sebagai suatu kritik yang baik terhadap profesi kedokteran, agar para dokter dapat
meningkatkan pelayanan profesi kedokterannya terhadap masyarakat. Ikatan Dokter Indonesia menyadari bahwa kritik yang muncul tersebut merupakan “puncak suatu gunung es”, artinya masih banyak kritik yang tidak muncul ke pemukaan karena keengganan pasien atau keluarganya menganggap apa yang dialaminya tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Bagi Ikatan Dokter Indonesia, banyaknya sorotan masyarakat terhadap profesi dokter menggambarkan bahwa masyarakat belum puas dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh para dokter. Pada umumnya ketidakpuasan para pasien dan keluarga pasien terhadap pelayanan dokter karena harapannya yang tidak dapat dipenuhi oleh para dokter, atau dengan kata lain terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang didapatkan oleh pasien. Memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap manusia. Penyelenggaraan upaya kesehatan dilakukan secara serasi dan seimbang oleh pemerintah dan masyarakat termasuk swasta. Agar penyelenggaraan upaya kesehatan itu berhasil guna dan berdaya guna, maka pemerintah perlu mengatur, membina dan mengawasi baik upayanya maupun sumber dayanya. Kedudukan dan peran dokter tetap dihormati, tetapi tidak lagi disertai unsur pemujaan. Dari dokter dituntut suatu kecakapan ilmiah tanpa melupakan segi seni dan artistiknya. Kesenjangan yang besar antara harapan pasien dengan kenyataan yang diperolehnya menyusul dilakukannya merupakan predisposing faktor. Kebanyakan orang kurang dapat memahami bahwa sebenarnya masih banyak faktor lain di luar kekuasaan dokter yang dapat mempengaruhi hasil upaya medis.

Bentuk profesionalisme profesi Dokter:
  • Pola Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien telah terjadi sejak dahulu, dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik seperti antara bapak dengan anak. Dalam hubungan ini kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat, yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya di tangan dokter. Hubungan hukum timbul bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya, dan memberikan bantuan pertolongan. Sebaliknya, dokter berdasarkan prinsip “father knows best” dalam hubungan paternatistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai ‘bapak yang baik’, yang secara cermat, hati-hati untuk menyembuhkan pasien. Dalam mengupayakan kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh Lafal Sumpah dan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pola hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien ini mengandung baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya dapat juga timbul dampak negatif, apabila tindakan dokter yang berupa langkah-langkah dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau kematian), karena obyek dari hubungan hukum itu berupa upaya dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien.
  • Saat Terjadinya Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan hukum kontraktual yang terjadi antara pasien dan dokter tidak dimulai dari saat pasien memasuki tempat praktek dokter sebagaimana yang diduga banyak orang, tetapi justru sejak dokter menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan dengan menunjukkan sikap atau tindakan yang menyimpulkan kesediaan; seperti misalnya menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam medisnya dan sebagainya. Dengan kata lain hubungan terapeutik juga memerlukan kesediaan dokter.
  • Sahnya Transaksi Terapeutik
Mengenai syarat sahnya transaksi terapeutik didasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat sebagai berikut:
  • Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
  • Kecakapan untuk membuat perikatan
  • Suatu hal tertentu
  • Suatu sebab yang sah
  • Informed consent
Persetujuan tindakan medis (informed consent) mencakup tentang informasi dan persetujuan, yaitu persetujuan yang diberikan setelah yang bersangkutan mendapat informasi terlebih dahulu atau dapat disebut sebagai persetujuan berdasarkan informasi.   Pada hakekatnya, hubungan antar manusia tidak dapat terjadi tanpa melalui komunikasi, termasuk juga hubungan antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis. Oleh karena hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan interpersonal, maka adanya komunikasi atau yang lebih dikenal dengan istilah wawancara pengobatan itu sangat penting. Bahasa kedokteran banyak menggunakan istilah asing  yang tidak dapat dimengerti oleh orang yang awam dalam bidang kedokteran. Pemberian informasi dengan menggunakan bahasa kedokteran, tidak akan membawa hasil apa-apa, malah akan membingungkan pasien. Oleh karena itu seyogyanya informasi yang diberikan oleh dokter terhadap pasiennya disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh pasien. Jadi, pada hakekatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien dari segala kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui atau tidak diijinkan oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara hukum) terhadap kemungkinan akibat yang tak terduga dan bersifat negative.

Tanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Pasien
Tanggung Jawab Etis
Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari seorang dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah Dokter. Kode etik adalah pedoman perilaku. Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan. Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang-undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.
Tanggung Jawab Hukum
Tanggung jawab hukum dokter adalah suatu “keterikatan” dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab seorang dokter dalam bidang hukum terbagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:
  1. Tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum perdata.
  2. Tanggung Jawab Perdata Dokter Karena Perbuatan Melanggar Hukum.
  3. Tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum administrasi.
Profesionalisme Dalam Profesi Dokter
Dokter sebuah profesi yang masih mendapat tempat yang istimewa di mata masyarakat bukan hanya karena kedalaman ilmunya , tetapi karena jiwa kemanusiannya yang akrab dengan tugasnya yang amat mulia, yakni menyelamatkan nyawa orang , Tetapi sepertinya kesan baik itu sudah mulai luntur  dengan banyaknya tingkah laku dokter yang mulai menumbulkan rasa was-was kepada pasien, faktanya tidak jarang dokter melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak lazim dalam menjalankan tugasnya , Hal ini diistilahkan dengan kata mal praktik, yang ironisnya tak jarang menyebabkan kerugian yang amat besar kepada pasien, kesalahan -kesalahan yang terjadi saat proses pelayanan seorang dokter tak jarang karena disebabkan oleh kelalaian si dokternya sendiri , padahal jadi kekurang telitian tersebut sebenarnya bisa dihindari , Mal praktik yang kian digaungkan di tengah pasar kesehatan negeri ini merupakan  salah satu celah ketidakprofesionalan  dokter dalam mengemban amanahnya.

Gagal Berkomunikasi 

Salah satu penyumbang faktor yang terbesar terjadinya malpraktik adalah masalah komunikasi yang dibangun sewaktu dokter menggali informasi dari pasien dalam praktik medis disebut dengan anamnesis, beberapa fakta empiric yang sering diresahkan masyarakat adalah sikap dokter yang kurang ramah , kurang simpati dan kurang mengayomi pasien-pasiennya, pasien hanya diibaratkan sebagai sebuah mesin yg tunduk pada perintah dokter tanpa memperhatikan feedback langsung dari lawan bicaranya.

Ketidaksempurnaan dokter dalam membangun komunikasi terhadap pasien akan berakibat buruk terhadap proses terapiutik yang dikelolanya nanti, karena tak jarang dokter terlalu intervensif dalam melakukan anamnesis seorang dokter, menurut sebuah penelitian di amerika umumnya menyela keluhan yang disampaikan pasiennya setelah 22 detik artinya dokter sering tidak sabar menunggu anda menyelesaikan semua keluhan dan lebih suka menghentikannya di tengah-tengah pembicaraan , padahal kalau semua penjelasan yg disampaikan , hal itu tidak memakan waktu lama penelitian yang dilakukan di swiss menyimpulkan pasien rata-rata hanya butuh waktu dua menit untuk menyelesaikan semua keluhan yang dirasakan, menurut Dr.Wolf Langewitz dari University Hospital di basle, gereja serupa hampir terjadi di semua negara diperkirakan dokter mengambil alih pembicaraan setelah 30 detik, mereka akan segera bertanya, bagaimana batuknya ? merasakan demam nggak ? suhunya berapa ? begitulah dokter akan memulai dengan serangkaian pertanyaan dan jarang memberi kesempatan kepada pasien untuk bicara.

Seiring kebiasaan menyela pembicaraan yang dilakukan para dokter dapat mempengaruhi kualitas informasi yang diperolehnya nanti. pasien mungkin ingat ketika dokter menyela pembicaraan mereka , bisa jadi pasien beranggaapan bahwa ada yang salah dari apa-apa yang mereka sampaikan, sementara dokter menghujani pertanyaan-pertanyaan tertutup di saat yang kurang tepat . akibatnya psikologis pasien bisa terganggu karena hal-hal yang kurang bijak.
http://darihobi-bisauntung.blogspot.com/2010/04/profesionalisme-dalam-profesi-dokter.html

0 komentar:

Posting Komentar